Pajak Rokok dan Cukai Rokok, Apa Bedanya?
|
Illustrasi from google |
Sebelum kita membahas lebih jauh tentang Pajak dan cukai rokok, sekedar buat pengetahuan, kita tahu lebih dulu apa sih pajak rokok dan cukai rokok ?
Mungkin diantara kita masih banyak yang kurang paham dan bertanya-tanya, apa sih bedanya pajak dan cukai rokok? Bagaimana pula cara perhitungannya?
Nah kali ini saya coba menjelaskan sedikit tentang pajak dan cukai rokok. So, jangan sampai salah arti ya.
Menurut kutipan pasal 1 ayat 19 UU no 28 Tahun 2009,
Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai yang dipungut Pemerintah.
Loh kok ada cukai, apa bedanya pajak rokok dengan cukai rokok?
Ini nih, merujuk pada pasal 28 UU no. 28 Tahun 2009.
Cukai Rokok adalah pungutan yang dipungut Negara terhadap rokok dan produk tembakau lainnya. Seperti, sigaret, cerutu, serta rokok daun.
Dengan demikian, Pajak Rokok dan Cukai Rokok merupakan dua hal yang berbeda. Kesimpulannya, setiap batang rokok akan dikenakan tambahan pungutan, yaitu : pajak rokok dan cukai rokok.
Nah, untuk tarif pajak rokok itu sendiri, berapa sih? Lalu bagaimana pula cara perhitungannya ?
Tarif Pajak Rokok sendiri adalah 10% dari cukai rokok, sedangkan cukai rokok dikenakan tarif spesifik sebesar 40% perbatang. Untuk perhitungannya ada 2 yaitu berdasarkan HJE atau Ad Valorem.
Yang biasa dipakai adalah HJE.
Contoh perhitungan HJE :
HJE perbatang = Rp3.000
Cukai Rokok = 40% x HJE
= 40% x Rp 3.000
= Rp1.200
Pajak Rokok = 10% x Cukai Rokok
= 10% x Rp1.200
= 120
Nah, Rp 120 inilah yang masuk dalam kas pemerintah daerah. Jadi, bayangkan saja berapa besar pajak rokok yang diterima daerah setiap tahunnya. Tentu besar sekali, sebab bisa dibilang Indonesia merupakan surga perokok, di mana angka penjualan rokok sangat tinggi.
Contoh perhitungan Ad Valorem :
Harga perbungkus = Rp12.000
Cukai Rokok = 40% x Harga perbungkus
= 40% x Rp 12.000
= Rp 4.800
Pajak Rokok = 10% x Cukai Rokok
= 10% x Rp 4.800
= Rp. 480
Maka harga rokok perbungkus setelah terkena cukai dan Pajak Rokok adalah Rp 12.480. dengan cukai rokok sebesar Rp 4.800 dan Pajak Rokok sebesar Rp 480
Penyumbang Terbesar Pendapatan Negara
Tadi kita habis main hitung-hitungan pajak dan cukai rokok,sekarang kalian sudah tahu dong, berapa hasil dari pajak rokok yang diterima pemerintah, cukup besar bukan.
Hal inilah yang membuat rokok menjadi penyumbang terbesar devisa negara.
Sebagai salah satu penerimaan negara, pajak dan cukai rokok sangat berperan penting sebagai penopang pendapatan negara dari sektor riil.
Contohnya saja pada tahun 2015.
" Rokok menyumbangkan pendapatan terbesarnya dari cukai sebesar 139,5 triliun ".
Dan sesuai peraturan Presiden no 72 tahun 2020 :
" Penerimaan cukai hasil tembakau sebesar 164,94 triliun rupiah,"
Penerimaan ini menjadikan hampir 96% penerimaan cukai negara didominasi dari sektor produksi tembakau.
Woww, cukup besar ya nilainya.
Tapi apakah ini hasil maksimal yang bisa dikumpulkan cukai tahun ini .. ??
Mau tahu jawabannya ?
Pas banget saya habis nonton live talkshow di chanel youtubenya Berita KBR, tanggal 29 Juli 2020. Bersama Host Don Brady menghadirkan nara sumber yang kredible dibidangnya :
1. Prof. dr. Hasbullah Thabrany
( Ketua Umum Komnas Pnegendalian Tembakau ), dan
2. Dr. Renny Nurhasana
( Dosen dan Peneliti Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI )
|
Live talkshow Berita KBR |
Dr. Renny Nurhasana menjelaskan,
" pendapatan negara dari cukai rokok bukan kontribusi industri rokok, tapi adalah benda dari para perokok yang terpaksa harus dicegah oleh negara karena dia merusak dirinya, dan merusak kesehatan orang-orang disekitarnya dan lingkungannya "
Banyak orang yang keliru memahaminya.
Hal ini pula yang menjadikan rokok sebagai benda konsumsi yang disatu sisi membawa dampak positif bagi keuangan negara, namun disisi lain menimbulkan dampak negatif yang berbahaya bagi kesehatan.
Merokok Di Saat Pandemi
|
Ilustrasi gambar by Canva |
Kenapa, ada yang salah ?
Apa hubungannya antara merokok dengan pandemi yang terjadi sekarang ini?
Oh ya jelas ada, bahkan mereka saling melengkapi satu sama lainnya. Loh, gimana ceritanya?
Yuk .. yuk .. merapat, saya coba jelaskan sedikit ya.
Sebagaimana kita tahu, merokok sangat merugikan bagi kesehatan. Bukan hanya untuk si perokok nya saja, namun juga orang-orang di sekitarnya. Well, ada perokok aktif dan pasif.
Prof. dr. Hasbullah Thabrany menjelaskan,
"Merokok dapat mengganggu kesehatan, diantaranya asap rokok yang masuk kedalam tubuh dapat merusak paru-paru. Sementara virus Covid - 19 sangat mudah menjadi teman baik polusi yaitu assp rokok. Dengan penyakit lain sebagai penyertanya, covid-19 dapat dengan mudah mempercepat pengrusakan paru-paru. Sehingga bukan tidak mungkin lagi si perokok tersebut bisa terjangkit virus Corona".
Mengutip noted dari KEMENKES:
" Bahwa merokok membuat 14 kali lebih parah mengalami Covid 19."
Dari segi kesehatan, seseorang yang mengidap Penyakit Tidak Menular (PTM) dan terjangkit virus korona disebut memiliki potensi fatal yang tinggi. Menurut Kementerian Kesehatan merokok merupakan salah satu faktor risiko PTM penyebab penyakit Kardiovaskular, Kanker, Paru Kronis, dan Diabetes. Selain itu rokok disebutkan juga merupakan faktor risiko penyakit menular seperti TBC dan Infeksi Saluran Pernapasan.
Teringat kejadian beberapa bulan yang lalu, disaat seorang teman harus masuk UGD karena sakit radang paru-paru dan usus.
Pernah dengar, orang yang bisa tidak sarapan/makan nasi asal sudah minum kopi dan merokok ? Aduh mas .. mas, kok bisa ya ?
(Hu hu hu ... Teman saya ini)
Karena gaya hidup yang tidak sehat seperti inilah, akhirnya teman ku dirawat hampir 1 bulan lamanya.
Terlebih di masa pandemi. Proses perawatannya sangatlah tidak seperti biasanya, harus dilakukan test SWAB pula. Tapi kebayang gak kalian, sendirian di rumah sakit, berjuang melawan penyakit agar lekas sembuh tanpa satu orang pun boleh mengunjungi.
Dan ini bukan hanya cerita satu orang saja. Banyak diluaran sana yang kondisi nya mungkin sama.
Masih Mau Merokok ? #putusinaja
Cukai Rokok Naik Saat Pandemi
Terkait cerita diatas, Salah satu cara mengendalikan konsumsi tembakau dengan menaikkan cukai rokok.
Presiden Jokowi sudah menaikkan cukai rokok per 1 Januari 2020 sebesar 23%. Harga jual eceran rokok pun naik rata-rata sebesar 35%. Namun apakah ini sudah signifikan?
Pemerintah menilai, inilah waktu yang tepat untuk mengurangi konsumen rokok.
Namun apakah tindakan pemerintah sudah tepat sasaran? Sudah tercapai sesuai tujuan?
Ini pula yang menjadi polemik, karna kenyataannya, hasil di lapangan masih sangat jauh dari yang diharapkan pemerintah.
Kenapa bisa begitu ?
Sini .. sini, aku kasih sedikit gambaran yang terjadi dilapangan.
Jadi kita bisa lihat hasil nya dari cara, bagaimana kita mengukur apakah kenaikan cukainya sudah cukup apa belum. Ini bisa kita lihat efek dari kenaikan tarif cukai itu sendiri .
" Kalau konsumsinya menurun, baru sudah terlihat ada efek nya ". Jelas Dr. Hasbullah Thabrany
Tapi kenyataannya, konsumsi rokok 10 tahun lalu cuma 220 miliar batang diIndonesia, 330 an miliar batang masih jauh.
Faktanya lagi, 5 tahun terakhir anak-anak remaja tambah banyak mengkonsumsi rokok. Artinya, harganya masih terjangkau oleh mereka.
Disisi lain, Bapenas memperkirakan angka pengangguran Naik 4-5,5 jt orang di 2020, ini tentunya mengakibatkan banyak keluarga yang kesulitan memenuhi kebutuhan masyarakat.
Apa yang masyarakat bisa lakukan untuk bisa sehat meski pendapatan berkurang. Dalam hal ini, pemerintah dan Pemda telah memberikan bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan terlebih yang kena dampak pandemi.
Tujuannya adalah untuk mereka yang pendapatannya berkurang, kurang lebih bisa makan dan memenuhi kebutuhan dasar.
Tapi lagi-lagi, apakah bantuan pemerintah ini sudah tepat sasaran dan sudah digunakan sesuai aturan.
Berdasarkan data, masing-masing keluarga mendapatkan kelonggaran ikat pinggang mereka di rumah tangga karena mendapatkan bantuan sosial.
7 bantuan sosial dari pemerintah diantaranya adalah BLT dan Kartu Pra Kerja. Kalau bantuannya berupa subsidi pangan, its oke. Dalam artian kemungkinan besar mereka pasti akan mengkonsumsinya, seperti beras, telur, ayam dll.
Namun seberapa besar dari Bansos terutama yang nilainya tunai yang bener-benar diperuntukkannya tidak untuk membeli rokok.
Seperti penerima bantuan Program Indonesia Pintar (PIP), berdasarkan data di lapangan sebelum pandemi merokoknya 9% lebih tinggi.
Atau penerima bantuan Program Keluarga Harapan (PKH). Jelas-jelas terlihat 3,5 batang per kapita per minggu. Jelas Dr. Renny Nurhasana menjelaskan berdasarkan penelitiannya.
Miris sekali ya kalau melihat keadaan seperti ini, terlebih lagi negara kita masih Patriarki. Seorang istri menerima uang belanja, yang sudah dipotong terlebih dahulu oleh suaminya untuk kebutuhan sehari-hari suaminya, diantaranya uang untuk jatah rokok. Yee kan ..
Bahkan ada quotes dari para ibu-ibu rumah tangga " Suami lebih mementingkan rokok daripada pendidikan ".
Ho ho ho ... Segitunya yah.
Banyak cerita masyarakat yang mengeluh untuk bayar sekolah anak saja susah, tapi kalo untuk membeli rokok pasti ada saja uangnya. Seakan akan merokok itu hal wajib yang harus ada. Nah .. nah .. lagi-lagi sikap cuek dan bodo amat yang terlihat. Coba cara berpikir seperti ini dibalik. Kembali lagi ke masing-masing individunya yaa, hihihi … saran aku sih #putusinaja .
Kembali ke laptop,
Dari paparan diatas, jelas bahwa pemerintah belum mencapai tujuannya.
Lalu bagaimana solusinya agar bantuan sosial tepat sasaran .. ??
Menurut Renny Nurhasana dalam live streaming talkshow KBR, mengatakan,
Pemerintah harus melakukan review sistem penyaluran dan penggunaan bantuan sosial, karena masih dinilai loose untuk beberapa hal penyaluran, misalnya :
1.Harus satu prinsip mendermalisasi komsumsi rokok. Pemerintah berani atau tidak, untuk memberikan kriteria atau berkomitmen bahwa si penerima bansos rumah tangganya harus bebas rokok.
2. Pemerintah punya hak untuk minimal menawarkan solusi untuk berhenti merokok kepada rumah tangga tersebut. Setidaknya ada effort untuk mendermalisasi konsumsi rokok.
3. Edukasi lewat Family Development System. Pemerintah BanSos diharapkan punya agenda rapat bulanan. Itu yang harus digencarkan bahwa pembelian untuk rokok tidak diperbolehkan. Kalau melanggar, apa efeknya. Dan harus ada Reward Punishment.
Hal ini baru masuk ke KEMENSOS dan sedang on progress. Jelas mba Renny.
Hem, semoga tidak hanya sekedar wacana saja ya mba, dan cepat terealisasi kan sehingga bisa dilihat nanti efeknya bagaimana dan hasilnya seperti apa.
Lain lagi menurut Profesor Hasbullah Thabrany (Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau).
" Sebelum tercapai tujuannya,
maka pemerintah harus menaikkan lagi beberapa nominal angka. Misal nya 1 bungkus dikasih harga 70 ribu, kalau sekarang kan masih 20-30 ribu.
Kalau 70 ribu, baru efektif mengendalikan konsumsi rokok.
Hanya mereka yang sudah biasa merokok yang akan merokok, dan yang belum, tidak akan berani untuk mulai merokok ".
Pertanyaannya,
" Bisakah pemerintah untuk #putusinaja dan segera buat kebijakan pengendalian tembakau yang ketat dan masyarakat mesti #putusinaja ketergantungan rokoknya ?".
Kesimpulannya,
Dukung kenaikan tarif cukai rokok, meskipun hasilnya belum terlihat maksimal dan belum mencapai tujuan, paling tidak ini adalah langkah awal untuk tahap selanjutnya.
Terkait pendapatan fungsinya cukai itu sendiri kita mendapati penting, tapi yang terpenting adalah untuk menekan prevalensi yang ada di Indonesia.
Kita jadi tahu betapa pentingnya untuk menekan konsumsi rokok selama naik. Harus ada kerjasama, bukan hanya pemerintah tapi semua lapisan masyrakat termasuk kita, yang siap membantu program pemerintah dimulai dari lingkungan terkecil keluarga kita sendiri, mulai dari sekarang !
"Saya sudah berbagi pengalaman pribadi untuk #putusinaja hubungan dengan rokok atau dorongan kepada pemerintah untuk #putusinaja kebijakan pengendalian tembakau yang ketat. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog serial #putusinaja yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Indonesian Social Blogpreneur ISB. Syaratnya, bisa Anda lihat di sini :
https://kbr.id/intermezzo/05-2020/yuk__ikuti_lomba_blog__putusinaja__berhadiah_total_21_juta/103163.html
Ternyata pajak dan bea cukainya rendah banget ya. Makanya harga rokok masih bisa dibeli siapapun
BalasHapusPresentase kenaikan cukainya harus d tambah lg ya kak
HapusKalau untuk rokok, setuju banget kalau pajak dan cukainya selangit. Jadiin barang mewah aja gitu. Biar Indonesia makin sehat. Rokok ini gak pernah nguntungin. Yang ada bikin buntung. Heran sama perokok yang gak insaf juga meski udah batuk gak jelas.
BalasHapusHihihi .. sabar mba jgn emosi. Emg sih ya, meski cukai sdh naiknaik,tp ky nya gan ngaruh buat pr perokok aktif
HapusAku baru tahu lho ka Bedanya Antara Cukai roko dan pajak roko. Pemasukan dari produk ini sumbang besar bangeut ya, walaupun pro Dan kontra,, Makasih Infonya ka
BalasHapusBeda kak, tp tetap sj d bebankan k konsumen. Terimakasih kembali 😊
HapusKalau bisa cukai rokok naik 10x lipat dari sebelumnya. wkwk. Karena perokok di Indonesia kan memang sangat banyak. Maka kalau harga rokok mahal buanget, mungkin akan mengurangi hehe
BalasHapusWuih, jgn kasih kendor ya kak niken
HapusSetuju banget deh sama kenaikan cukai rokok ini. Supaya menekan konsumsi selama ini. Semoga segera terealisasi supya perokok bisa stop sesegera mungkin
BalasHapusAamiin ... Semoga ya, perlu tindakan tegas dr pemerintah ini dan kontribusi dr msyarakat.
HapusMemang tidak ada alasan yang bisa membenarkan merokok, sih. Aku ga setuju rokok menyumbang pendapatan negara karena Dampak dari rokok justru lebih mahal daripada Pajak yang dibayarkan perokok. Tulisan yang bagus, kak
BalasHapusSe 7
HapusBagaimana perokok akan insaf, ketika sudah menjadi kebutuhan untuk perokok. Dan saya baru paham akan hitung-hitungan cukai rokok dan pajak rokok, bagaimana bisa terlalu rendah ya. padahal efek dari penggunaan rokok sangatlah tidak menguntungkan.
BalasHapus